Kamis, 10 Januari 2013


Tugas analisis instrumen
 

FLUORESENSI DAN FOSFORESENSI
FOSFORESENSI
Fosfor ialah zat yang dapat berpendar karena mengalami fosforesens (pendaran yang terjadi walaupun sumber pengeksitasinya telah disingkirkan). Fosfor berupa berbagai jenis senyawa logam transisi atau senyawa tanah langka seperti zink sulfida (ZnS) yang ditambah tembaga atau perak, dan zink silikat (Zn2SiO4)yang dicampur dengan mangan. Kegunaan fosfor yang paling umum ialah pada ragaan tabung sinar katoda (CRT) dan lampu pendar, sementara fosfor dapat ditemukan pula pada berbagai jenis mainan yang dapat berpendar dalam gelap (glow in the dark). Fosfor pada tabung sinar katoda mulai dibakukan pada sekitar Perang Dunia II dan diberi lambang huruf "P" yang diikuti dengan sebuah angka.
Sebenarnya zat fosfor / fluoresens itu berpendar sepanjang terkena terhadap gelombang cahaya (misalnya: cahaya matahari). Namun, cahaya yang dihasikan dari hasil eksitasi elektron dari zat fosfor kalah terang dari cahaya (matahari), sehingga zat tersebut tidak terlihat sedang berpendar/memancarkan cahaya. Hal inilah yang menyebabkan fosfor terlihat berpendar pada ruang gelap atau pada malam hari.
Phosphorescent pigments - comparison ZnS vs. aluminate
Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/04/Phosphorescent_pigments_1_min.jpg/220px-Phosphorescent_pigments_1_min.jpgDescription: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/d3/Phosphorescent_pigments.jpg/220px-Phosphorescent_pigments.jpg
          left: Zinc sulfide, right: SrAl2O4                             pigments in the dark
Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/8/8a/Phosphorescent_pigments_4_min.jpg/220px-Phosphorescent_pigments_4_min.jpg
pigments in the dark after 4 min

Penyerapan energi oleh molekul memungkinkan terjadinya eksitasi, fluoresensi, dan Fosforesensi. Banyak senyawa kimia memiliki sifat fotoluminensi yaitu dapat dieksitasikan oleh cahaya dan memancarkan kembali sinar dengan panjang gelombang sma atau berbeda dengan semula. Ada dua peristiwa fotoluminensi yaitu Fluorosensi dan Fosforesensi.
Pada luminescen, sebagian molekul dalam keadaan ground state berada dalam keadaan singlet. Pada molekul singlet, spin electron berpasangan sedangkan dalam keadaan triplet spin electron tidak berpasangan. Oleh karena itu energy pada keadaan triplet sedikit lebih rendah disbanding energy pada keadaan singlet.
Description: state.jpg
Fosforesensi adalah jenis spesifik dari fotoluminesen yang terkait dengan fluoresensi . Tidak seperti fluoresensi, bahan pendar tidak segera memancarkan kembali radiasi yang telah diserap. Skala waktu lebih lambat dari emisi-ulang berkaitan dengan transisi energi bagian yang dilarang dalam mekanika kuantum.
Fosforesensi, pemancaran kembali sinar oleh molekul yang telah menyerap energi sinar dalam waktu yang relatif lebih lama (10-4 detik). Jika penyinaran kemudian dihentikan, pemancaran kembali masih dapat berlangsung. Fosforesensi berasal dari transisi antara tingkat-tingkat energi elektronik triplet ke singlet dalam suatu molekul.
Fosforesens dapat menyimpan energi lebih lama, sehingga akan memancarkan cahaya (berpendar) lebih lama dari pada fluorosens. Pada fluorosens, setelah energi yang digunakan untuk mengeksitasi elektron dihilangkan (biasanya berupa sinar UV) maka zat fluorosens tidak akan dapat menyala dalam gelap. Dengan kata lain zat berfluororesensi hanya dapat terlihat menyala apabila dikenai dengan sinar ultraviolet di dalam gelap, dan tidak dapat berpendar ketika sinar ultravioletnya dimatikan. Hal ini berkaitan dengan cepat dan lambatnya elektron kembali ke orbital energi tingkat dasar, semakin cepat elektron kembali ke orbital maka semakin cepat pula hilang berpendarnya.
Ditinjau dari ilmu kimia, suatu zat bisa menyala dalam gelap diawali dari akibat adanya eksitasi elektron yang terjadi di dalam zat tersebut karena menerima energi dari luar (seperti terkena gelombang cahaya), kemudian saat elektronnya kembali ke orbital dasarnya, terjadi pelepasan energinya kembali (emisi) dalam bentuk gelombang yang tampak berupa cahaya/pendar.
Proses yang terjadi pada zat yang dapat menyala dalam gelap dimulai eksitasi elektron yang melibatkan dua orbital dengan tingkat energi berbeda. Pada saat elektron tereksitasi, elektron berpindah dari orbital berenergi lebih rendah ke orbital yang berenergi lebih tinggi, yang merupakan reaksi yang non-spontan (dibutuhkan sejumlah energi aktivasi untuk menyebabkan sebuah elektron tereksitasi, misalnya terkenanya gelombang cahaya/elektromagnetik dengan energi sejumlah x kJ). Tereksitasinya elektron ini menyebabkan keadaan tidak stabil, sehingga menyebabkan elektron cenderung kembali ke keadaan orbital dasar elektron tersebut. Pada saat elektron yang tereksitasi kembali ke orbital asalnya (yang memiliki energi lebih rendah), energi sejumlah x kJ dilepaskan kembali. Energi yang dilepaskan ini berada dalam bentuk gelombang, yang panjang gelombangnya berada di range visible/tampak (10 nm – 103 nm), sehingga terlihat menyala di dalam gelap.
Fosforesensi (P) adalah proses suatu molekul melangsungkan suatu transisi (emisi)  dari tingkat triplet ke tingkat dasar.
Pada peristiwa fosforesensi, pancaran cahayanya berakhir beberapa saat setelah proses eksitasi pada bahan berakhir. Bahan yang mampu memperlihatkan gejala ini disebut fosfor. Ada kalanya proses fosforesensi baru terjadi jika suatu bahan mendapatkan pemanasan dari luar. Peristiwa luminesensi dengan bantuan panas dari luar ini disebut termoluminesensi. Pancaran cahaya termoluminesensi (TL) didefinisikan sebagai pancaran cahaya dari benda padat dengan struktur kristal sebagai akibat proses eksitasi yang disebabkan oleh radiasi pengion. Fenomena TL dapat terjadi karena adanya kerusakan kisi-kisi pada kristal. Zat padat dengan struktur kristal memiliki berbagai macam kerusakan kisi-kisi di dalamnya. Beberapa kerusakan kisi-kisi itu disebabkan antara lain oleh hilangnya atom-atom atau ion-ion dari bahan, struktur bidang kristal yang terputus atau adanya bahan-bahan asing (pengotor) yang terdapat dalam kristal [5]. Pada pita di sekitar terjadinya kerusakan kisi-kisi tersebut sering kali terbentuk pusat-pusat muatan listrik yang dapat menarik muatan listrik tak sejenis lainnya. Oleh sebab itu, jika elektron bergerak memasuki daerah kerusakan dimana terdapat pusat muatan positif, maka elektron akan tertarik oleh pusat muatan tersebut. Sebaliknya, ion positif dapat tertarik memasuki daerah kerusakan kisi-kisi dimana terdapat pusat muatan negatif. Jika pusat-pusat muatan yang terbentuk cukup kuat, maka pusat muatan itu mampu mengikat ion yang tertarik padanya [5]. Pusat-pusat muatan yang cukup kuat ini disebut sebagai perangkap, sedang kemampuan perangkap dalam mengikat ion disebut kedalaman perangkap. Tingkat kedalaman perangkap tersebut bergantung pada jenis kerusakan kisi-kisi yang terjadi. Setiap jenis zat padat dapat memiliki berbagai macam perangkap, masing-masing dengan kedalaman yang berbeda. Jika suatu kristal dicangkoki (doping) dengan bahan pengotor yang sesuai, maka dapat diperoleh kristal dengan satu jenis perangkap.
Fenomena termoluminesensi saat ini banyak diterapkan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, antara lain untuk mendapatkan informasi mengenai dosis radiasi yang sebelumnya diterima oleh bahan. Dalam hal ini bahan itu berperan sebagai dosimeter radiasi. Prinsip dasar dalam pemanfaatan fenomena TL untuk dosimeter radiasi ini adalah bahwa akumulasi dosis radiasi yang diterima bahan akan sebanding dengan intensitas pancaran TL dari bahan tersebut.
Bahan yang mampu memperlihatkan fenomena TL mencapai lebih dari 2000 jenis mineral alam, mulai dari bahan Kristal dan gelas anorganik, barang tembikar dan batu api yang digunakan untuk penanggalan arkheologi, sampai dengan bahan-bahan organik yang berpendar pada temperatur rendah. Namun hanya ada delapan senyawa organik yang umumnya dimanfaatkan fenomena TL -nya karena memiliki karakteristik sesuai dengan yang dibutuhkan dalam dosimetri radiasi.
Selain digunakan sebagai dosimeter radiasi, fenomena fosforesensi digunakan pada lampu pendar. Lampu pendar adalah salah satu jenis lampu lucutan gas yang menggunakan daya listrik untuk mengeksitasi uap raksa. Uap raksa yang tereksitasi itu menghasilkan gelombang cahaya ultraungu yang pada gilirannya menyebabkan lapisan fosfor berpendar dan menghasilkan cahaya kasatmata. Lampu pendar mampu menghasilkan cahaya secara lebih efisien daripada lampu pijar.
Lampu pendar dikenal dalam dua bentuk utama. Yang pertama berbentuk tabung panjang atau yang umum dikenal dengan lampu TL (tubular lamp) atau lampu neon dan yang kedua berukuran lebih kecil dengan tabung ditekuk menyerupai spiral, umum disebut dengan sebutan lampu hemat energi (LHE).
Metode fluoresensi dan fosforesensi melibatkan penyerapan radiasi dan pengemisian radiasi yang umumnya lebih panjang gelombangnya atau lebih rendah energinya. Energi radiasi yang tidak teremisikan dalam bentuk radiasi kemudian diubah menjadi energi termal. Fluorosensi maupun fosforesensi berkaitan dengan perubahan energi vibrasi. Perbedaan antara kedua fenomena tersebut ialah dalam selang waktu antara penyerapan dan emisi. Pada fosforesensi, emisi terjadi pada waktu sekitar 10-3 detik setelah penyerapan sementara fluorosensi lebih cepat terjadi yaitu dalam waktu 10-6 – 10-9 detik setelah penyerapan.

FLUORESENSI
Fluor adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang F dan nomor atom 9. Namanya berasal dari bahasa Latin fluere, berarti "mengalir". Dia merupakan gas halogen univalen beracun berwarna kuning-hijau yang paling reaktif secara kimia dan elektronegatif dari seluruh unsur. Dalam bentuk murninya, dia sangat berbahaya, dapat menyebabkan pembakaran kimia parah begitu berhubungan dengan kulit.
Fluoresensi adalah pendaran sinar pada saat suatu zat dikenai cahaya. Hal ini karena sifat butir Kristal suatu zat jika mendapat rangsangan berupa cahaya akan langsung memancarkan cahayanya sendiri dan berhenti memancar jika rangsangan itu dihilangkan. Contoh rambu-rambu lalu lintas, beberapa jenis cat, dan stiker yang bersifat fluoresensi. Fluorensensi berarti juga kelihatan bersinar bila kena sinar. Definisi fluoresensi adalah pendaran sinar pada saat suatu zat dikenai cahaya. Hal ini karena sifat butir Kristal suatu zat jika mendapat rangsangan berupa cahaya akan langsung memancarkan cahayanya sendiri dan berhenti memancar jika rangsangan itu dihilangkan. Contoh rambu-rambu lalu lintas, beberapa jenis cat, dan stiker yang bersifat fluoresensi. Fluorensensi berarti juga kelihatan bersinar bila kena sinar.
Fluoresensi dapat juga dikatakan sebagai emisi cahaya oleh suatuzat yang telah menyerap cahaya atau radiasi elektromagnetik denganperbedaan panjang gelombang.
Fluoresensi adalah proses pemancaran radiasi cahaya oleh suatu materi setelah tereksitasi oleh berkas cahaya berenergi tinggi. Emisi cahaya terjadi karena proses absorbsi cahaya oleh atom yang mengakibatkan keadaan atom tereksitasi. Keadaan atom yang tereksitasi akan kembali keadaan semula dengan melepaskan energi yang berupa cahaya (de-eksitasi). Fluoresensi merupakan proses perpindahan tingkat energi dari keadaan atom tereksitasi (S1 atau S2) menuju ke keadaan stabil (ground states). Proses fluoresensi berlangsung kurang lebih 1 nano detik sedangkan proses fosforesensi berlangung lebih lama, sekitar 1 sampai dengan 1000 mili detik.
Fluoresensi dapat juga dikatakan sebagai emisi cahaya oleh suatu zat yang telah menyerap cahaya atau radiasielektromagnetik lain dari panjang gelombang yang berbeda. Dalam beberapa kasus, emisicahaya memiliki panjang gelombang yang lebih panjang, oleh karena itu energinya lebihrendah, dibandingkan dengan radiasi yang diserap. Namun, ketika radiasi elektromagnetik yang diserap sangat ketat, sangat mungkin bagi satu electron untuk menyerap dua foton, penyerapan dua foton ini dapat mengakibatkan emisi radiasi memiliki panjang gelombangyang lebih pendek daripada serapan radiasi. Contoh yang paling mengesankan darifluoresensi muncul ketika radiasi diserap di wilayah spektrum ultraviolet, dan ini tidak tampak, dan emisi cahaya ada di wilayah tampak (visibel). Fluoresensi memiliki aplikasi praktis, termasuk dalam mineralogi, gemologi, sensor kimia(Fluoresensi spektroskopi), pelabelan neon, pewarna, detektor biologis, dan yang paling umum lampu neon.




Prinsip Fluoresensi
1.      Proses Absorpsi
Proses absorbs yang mengarah ke fluoresensi biasanya mencakup suatu transisi elektronik π-π* dalam suatu molekul organik. Proses tersebut ditunjukkan dalam diagram tingkat enenrgi. Tingkat tingkat rotasi ditiadakan dari dalam diagram ini;  dalam fase-fase mampat seperti larutan yang biasa kita gunakan, tingkat-tingkat ini “teroles-habis” oleh molekul-molekul di sekitarnya dan bagaimanapun mereka tidak akan dipisah-pisahkan oleh kebanyakan instrument dalam kasus tertentu. Radiasi yang diserap oleh molekul ditandai dengan hvex; dalam proses ini, yang agaknya berlangsung tak lebih lama dari 10-15 detik, sebuah elektronik dinaikkan dari keadaan elektronik dasar ke suatu keadaan tereksitasi. Pada temperatur kamar, molekul yang tak-terperturbasi (tak-terganggu) akan berada dalam keadaan elektronik dasar semua, dandi sini tingkat vibrasi terendah sejauh itu akan paling banyak dihuni. Meskipun demikian, transisi dapat terjadi ke berbagai tingkat vibrasi dari keadaan elektronik tereksitasi, tergantung pada energi yang eksak dari foton-foton yang diserap.
Eksitasi juga dapat menaruh molekul dalam keadaan elektronik yang lebih tinggi lagi. Kadang-kadang tingkat vibrasi terendah dari keadaan elektronik tereksitasi tertinggi dan tingkat vibrasi tertinggi dari keadaan elektronik tereksitasi-pertamaenerginya sepadan. Molekul-molekul dalam keadaan elektronik yang lebih tinggi, setelah pengenduran ke tingkat vibrasi terendah, kemudian dapat pindah ketingkat vibrasi berenergi sama dari keadaan elktronik tereksitasi-pertama, suatu proses yang disebut konversi dalam, kemudian mengendur ketingkat vibrasi terendah dari keadaan elektronik tereksitasi pertama sebelum pancaran berpendar.

2.      Waktu Relaksasi: Perbedaan antara Fluoresensi dan Fosforesensi
Biasanya pancaran perpendaran terjadi sangat cepat, dari sekitar 10-9-10-7 detik setelah absorbsi dari foton pengeksitasinya. Dengan instrument biasa, pengamatan fluoresensi berhenti ketika eksitasinya dipadamkan. Namun, ada pengecualian. Dalam keadaan dasar kebanyakan molekul organik (radikal bebas merupakan pengecualian) memiliki electron dalam jumlah genap dan spinnya saling berpasangan. Namun, sebuah elektron memiliki spin jika molekul tersebut tereksitasi. Waktu keadaan tereksitasi jauh lebih panjang daripada dalam fluoresensi biasa, yaitu dari 10-4 detik ke 10 detik atau bahkan lebih panjang, dan pancaran dapat bertahan selama waktu yang cukup panjang setelah eksitasi diputus. Gejala ini disebut fosforesensi. Karena penundaan waktu ini, makin besar peluang dieksitasi tak radiatif oleh tabrakan molekul, dan jarang diamati fosforesensi yang cukup berarti dalam larutan-larutan yang mendekati temperature kamar. Biasanya, fosforesensi dikaji dengan melarutkan molekul organic dalam pelarut yang memadat menjadi “kaca” yang tahan pada temperature mendekati -200 oC. Namun, ada beberapa fosforesensi yang dapat diamati pada temperatur kamar, yaitu molekul-molekul yang tergabung dalam agregat berstruktur yang disebut misel (micelles) yang dibentuk oleh surfaktan dalam larutan air. Di mana hubungan antara konsentrasi  (c) dalam molekul berpendar dalam larutan dan daya sinar yang dipancarkan (Pem) akan linier:
Pem = kc
Tetapan k mewakili suatu campuran yang rumit dari beberapa faktor. Karena hanya radiasi terserap yang mungkin dapat menginduksi fluoresensi, daya sinar masuk merupakan faktor penting, dan nilai ε dan panjang garis sinar, dan suatu faktor yang memberikan berapa besar fraksi molekul tereksitasi yang berdeeksitasi oleh pemancaran foton, bukan dengan proses tak radiatif. Dalam instrument, respon yang bergantung pada panjang gelombang detektor terhadap daya sinar maupun fraksi pancaran berpendar yang benar-benar mencapai detektor akan terbaca.

3.      Pengaruh Saringan-Dalam
Konsentrasi berbanding terbalik dengan fluoresensi. Pada konsentrasi tinggi, distribusi radiasi pengeksitasi tidak terserap secara merata. Pada lapisan pertama larutan dapat menyerap cukup banyak sehingga lapisan-lapisan yang lebih dalam tak dapat dieksitasi secara penuh, artinya daya sinar pengeksitasi P0, akan berkurang cukup banyak melintasi lebar sel tersebut. Hal ini disebabkan oleh efek saringan dalam yang kemungkinan hanya menyerap sinar radiasi lebih dari 5 atau 10%.

4.      Pemadaman
Ada sejumlah molekul yang merupakan pemadam yang sangat efektif yang dapat mempengaruhi analisis fluorometri. Secara singkat dapat ditulis sebagai berikut:

Molekul analit + pemadam             Molekul analit  +  pemadam             + kalor
                    tereksitasi                                           berkeadaan dasar

artinya, pemadam  menginduksi deeksitasi tak radiatif dari molekul analit yang tereksitasi, sehingga tidak ada foton yang dipancarkan. Misalnya, oksigen merupakan pemadam yang baik untuk beberapa hidrokarbon yang aromatik berpendar, dan untuk menghilangkan oksigen dari larutan-larutan tersebut. Dalam mengembangkan suatu metode analitik yang didasarkan pada fluoresensi, harus memperkirakan keaktifan pemadaman dengan komponen-komponen sampel yang terdapat dalam analit.

5.      Kepekaan
Suatu sifat yang menonjol dari analisis fluoresensi adalah tingginya kepekaan dibandingkan dengan teknik lazim lainnya misalnya pada spektrofotometri. Misalnya, sebuah spektrofotometri dapat mendeteksi suatu sampel dengan nilai absorbansinya adalah 0,0001, maka untuk  senyawa dengan nilai ε sebesar 10-5 dalam sel 1 cm. Tentukan batas deteksinya!


Namun, sinar yang dihasilkan kurang baik karena batas deteksi dari spektrofotometri adalah 10-6 M. Sedangkan batas deteksi fluoresensi biasanya berorde 10-9 M, dengan teknik deteksi pada tingkat tinggi yang hamper mendekati 10-12 M. Sehingga dapat dikatakan bahwa fluoresensi seribu kali lebih peka daripada spektrofotometri, tergantung dari senyawa apa yang digunakan dan instrument mana yang digunakan.

Factor-faktor yang mempengaruhi fluoresensi adalah :
1. Temperatur (Suhu)
·         EF berkurang pada suhu yang dinaikkan
·         Kenaikan suhu menyebabkan tabrakan antar mol atau  dengan mol pelarut
·         Energi akan dipancarkan sebagai sinar fluoresensi diubah menjadi bentuk lain misal : EC
2. Pelarut
·         Dalam pelarut polar intensitas fluoresensi bertambah,
·         Jika pelarut yang digunakan mengandung atom-atom yang berat (CBr4, C2H5I) maka intensitas fluoresensi berkurang, sebab ada interaksi gerakan spin dengan gerakan orbital elektron ikatan   ®  mempercepat LAS maka intensitas menjadi berkurang
3. pH mempengaruhi keseimbangan bentuk molekul dan ionic
4. Adanya oksigen terlarut dalam larutan cuplikan menyebabkan intensitas fluoresensi berkurang sebab oksigen terlarut oleh pengaruh cahaya dapat mengoksidasi senyawa yang diperiksa dan oksigen mempermudah LAS
5. Kekakuan struktur (structural rigidity) Struktur yang rigid (kaku) mempunyai intensitas  yang tinggi.   

Atom akan mengalami konversi internal atau relaksasi pada kondisi S1 dalam waktu yang sangat singkat sekitar 10-1ns, kemudian atom tersebut akan melepaskan sejumlah energi sebesar hνf yang berupa cahaya. Karenanya energy atom semakin lama semakin berkurang dan akan kembali menuju ke tingkat  energi dasar S0 untuk mencapai keadaan suhu yang setimbang (thermally equilibrium). Emisi fluoresensi dalam bentuk spektrum yang lebar terjadi akibat perpindahan tingkat energi S1 menuju ke sub-tingkat energi S0 yang berbeda-beda yang menunjukan tingkat keadaan energi dasar vibrasi atom 0, 1, dan 2 berdasarkan prinsip Frank-Condon. Apabila intersystem crossing terjadi sebelum transisi dari S1 ke S0 yaitu saat di S1 terjadi konversi spin ke triplet state yang pertama (T1), maka transisi dari T1 ke S0 akan mengakibatkan fosforesensi dengan energi emisi cahaya sebesar hνP dalam selang waktu kurang lebih 1μs sampai dengan 1s. Proses ini menghasilkan energi emisi cahaya yang relatif lebih rendah dengan panjang gelombang yang lebih panjang dibandingkan dengan fluoresensi (Gambar 2.2.ab).
Description: Untitled.jpg
Beberapa kondisi fisis yang mempengaruhi fluoresensi pada molekul antara lain polaritas, ion-ion, potensial listrik, suhu, tekanan, derajat keasaman (pH), jenis ikatan hidrogen, viskositas dan quencher (penghambat de-eksitasi). Kondisi-kondisi fisis tersebut mempengaruhi proses absorbsi energi cahaya eksitasi. Hal ini berpengaruh pada proses de-eksitasi molekul sehingga menghasilkan karakteristik intensitas dan spektrum emisi fluoresensi yang berbeda-beda.
Intensitas fluoresensi adalah jumlah foton yang diemisikan per unit waktu (s) per unit volume larutan (l) dalam mol atau ekivalensinya dalam Einstein, dimana 1 Einstein = 1 foton mol. Intensitas fluoresensi dalam unit volume larutan (medium) yang tereksitasi terjadi dalam selang waktu transisi (lifetime). Intensitas fluoresensi tersebut merupakan hasil emisi de-eksitasi sehingga lifetime pada S1 akan berpengaruh terhadap besarnya intensitas fluoresensi. Pada gambar 2.3, kSr adalah konstanta kecepatan radiasi S1 → S0 (transisi dari S1 ke S0) , kTnr adalah konstanta kecepatan non radiasi T1 → S0 (transisi dari T1 ke S0) yang terjadi setelah proses internal crossing system S1 → T1, kSic adalah konstanta kecepatan proses internal conversion (bersifat non radiatif) dari S1 → S0 yang terjadi setelah transisi S2 → S1, dan kTr adalah konstanta kecepatan radiatif transisi T1 → S0 yang terjadi setelah proses internal crossing system S1 → T1.
Description: Untitled.jpg
Eksitasi hingga ke tingkat energi S1 terjadi apabila sejumlah molekul A menyerap energi cahaya, dan ketika kembali ke tingkat energi S0 molekul tersebut akan mengemisikan radisi atau melepaskan energi non radiasi (foton atau energi panas) dengan laju eksitasi sebagai berikut:
Description: Untitled.jpg
Proses fluoresensi dapat terjadi pada partikel dalam suatu medium. Hal tersebut terjadi akibat respon terhadap cahaya eksitasi dari elemen-elemen penyusunnya (kumpulan-kumpulan molekul atau atom yang relatif homogen) dengan mengasumsikan bahwa dimensi partikel sangat tipis sehingga proses absorbsi terhadap cahaya eksitasi tidak mengalami hambatan atau gangguan [14- 16]. Pada saat cahaya eksitasi I0 datang menuju medium (dimensi lxl) yang berisi partikel-partikel, cahaya tersebut akan diabsorbsi oleh partikel-partikel sebesar IA dan sebagian diteruskan (tanpa absorbsi) sebesar IT (persamaan 2.13). Cahaya yang diabsorbsi selanjutnya dikonversi menjadi emisi cahaya fluoresensi (IF) oleh faktor efisiensi kuantum ΦF (persamaan 2.12).
Description: Untitled.jpg
Hubungan antara intensitas fluoresensi dan absorbansi suatu partikel akibat eksitasi dari suatu sumber cahaya dinyatakan dengan menggunakan hukum Beer-Lambert. Intensitas cahaya eksitasi yang ditransmisikan oleh sejumlah konsentrasi partikel N sebesar IT(λE) pada luasan medium a dan sepanjang arah rambat cahaya eksitasi l dituliskan sebagai berikut:
Description: Untitled.jpg
Hubungan Struktur Molekul dengan Fluoresensi
à Struktur molekul yang mempunyai ikatan rangkap mempunyai sifat fluoresensi karena strukturnya kaku dan planar
à EDG (OH-, -NH2, OCH3) yang terikat pada sistem p dapat menaikkan intensitas fluoresensi
à EWG (NO2, Br, I, CN, COOH) dapat menurunkan bahkan menghilangkan sifat fluoresensi
à Penambahan ikatan rangkap (aromatik polisiklik) dapat menaikkan fluoresensi
Fenomena fluorosensi dapat dimanfaatkan sebagai dasar analisis fluorometer. Keuntungan dari analisis fluoresensi adalah kepekaan yang baik karena :
Ø  Intensitas dapat diperbesar dengan menggunakan sumber eksitasi yang tepat
Ø  Detektor yang digunakan seperti tabung pergandaan foto sangat peka
Ø  Pengukuran energi emisi lebih tepat daripada energi terabsorbsi
Ø  Dapat mengukur sampai kadar 10-4 – 10-9 M

Pemakaian Fluorometer
Tehnik ini mempunyai berbagai aplikasi dalam ilmu kesehatan, cabang forensik dan ilme lingkungan, selain pada analisis anorganik dan organik. Obat-obat seperti quinin, misalnya dapat dianalisis sampai sejumlah nanogram. LSD yaitu asam lysergik dietil amida dapat dianalisis dari sampel darah atau urin secara fluorometer. Panjang gelombang eksitasinya dan pendar fluornya masing-masing 335 dan 435 nm. Metabolit tidak menggangu pengukuran. Demikian juga polusi udara dari bahan-bahan karsinogen berupa berupa hidrocarbon aromatik bercincin aromatik ganda seperti 3-4 benzopirena yang berasal dari pembakaran tidak sempurna bahan bakar minyak, kendaraan serta pada peristiwa merokok dapat dianalisis secara fluorometer. Analisis dilakukan pada panjang gelombang 545-548 nm dalam medium asam sulfat dengan panjang gelombang eksitasi 520 nm dan panjang gelombang pendar-fluor pada 545 nm. Hasil yang reprodusibel diperoleh pada -190OC. Satu batang rokok mengandung 10 mg benzopirena dan dapat ditentukan dengan akurasi sampai konsentrasi sekitar nanogram.

Demikian juga analisis anorganik logam seperti Al, Be, Ca, Cd, Cu, Ga, Ge, Hg, Mg, Nb, Sb, Se, Sn, Ta, Th, W, Zn dan Zr, dapat dilakukan secara fluorometer. Reagen-reagen seperti 8-hidroksi kuinolin; 2,2’-dihidroksi azobenzen, dibenzoil metana, flavonol, bezoin, dan alizarin dapat digunakan sebaai ligan pengompleks.

Penentuan sejumlah besar zat-zat spesifik seperti riboflavin, thiamin hidroclorida dan vitamin-vitamin yang tepat dan cepat adalah pengukuran intensitas pendar-fluor. Berbagai materi anorganik juga menimbulkan pendar-fluor dalam larutan air atau dengan reagen organik, misalkan urananium terkompleks dengan NaF menimbulkan pendar-fluor, sehingga dapat ditentukan secara fluorometer. Demikian juga Zn, U, W, Mo menimbulkan pendar-fluor pada kompleksi. Al, Ga, Zn, Mg juga menunjukkan fenomena ini jika dikomplekskan dengan 8-hidroksikuinolin pada tingkat runut. Kompleks Al, Be dengan morin menunjukkan pendar-fluor juga. Kompleks kuinalizarin dengan logam-logam seperti Th ternyata menimbulkan pendar-fluor. Intensitas pendar-fluornya dapat dengan mudah diukur dengan unsur tersebut dapat ditentukan secara kuantitatif.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan selama analisis dengan cara ini. Materi-materi dari tumbuhan dan hewan karena juga menunjukkan pendar-fluor, hars disingkirkan sebelum pengukuran. Untuk mengoreksi pendar-fluor tersebut, biasanya intensitas total pendar-fluor didestruksi, setelah itu pendar-fluor larutan sekali lagi diukur dan perbedaan antara kedua pembacaan merupakan pendar-fluor akibat kompleks bahan ligan. Pendar-fluor juga dipengaruhi oleh pH, dan ini dimanfaatkan untuk indikator pH, seperti erythrosin B (pH 2,5 - 4,0), fluoresen (pH 4,6), asam kromatropik (pH 3 – 4,5), asam o-komarik (pH 7,2  - 9,0), napthol AS (pH 8,2 – 10,3). Temperatur berpengaruh juga terhadap pendar-fluor.